Jumat, 26 Juni 2009

KEGAGALAN UJIAN AKHIR SEKOLAH

Saya lalu merenungi perjalanan dinas saya ke Bogor tiga hari yang lalu. Dari pengalaman turun ke berbagai sekolah bersama kawan marketing, ternyata para guru juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka mengeluhkan adanya kurikulum yang selalu berganti di Indonesia, yang akhirnya harus membuat mereka kewalahan untuk menyesuaikan dengan rencana pengajaran yang terus berubah setiap tahunnya. Di sisi yang sama, sebagai editor saya juga merasakan kewalahan ini. Untuk tahun ini saja, gonjang-ganjing pemberlakuan Kurikulum 2006 telah membuat hampir separuh pekerjaan saya gagal terbit. Saya harus pontang-panting untuk menyiapkan bahan-bahan yang tidak ada di kurikulum sebelumnya, dan harus menambahkannya ke dalam buku dengan tenggat waktu deadline yang sangat mencekik.

Malangnya lagi, buku-buku yang saya tangani merupakan buku yang rawan akan “kepentingan politik”, yaitu mata pelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan. Ternyata memang betul kalimat yang menyatakan bahwa sejarah itu adalah milik penguasa. Materi tentang pemberontakan G-30-S di kurikulum baru sepertinya dipaksa untuk kembali ke versi Orde Baru, sebuah versi yang tentu layak untuk dipertanyakan. Kesulitan tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Saya juga kebat-kebit sewaktu harus menulis tentang bab Reformasi, karena menyangkut tentang penembakan mahasiswa Trisakti yang disinyalir ditunggangi oleh militer (dengan para jenderal2nya itu), dan juga masih terkait dengan poros-poros militer yang sangat dekat dengan sumber kekuasaan. Salah-salah tulis, foto saya bisa-bisa muncul di DPO polisi militer guntur, lalu penerbit tempat saya bekerja disomasi habis-habisan, dan saya dipecat. Runyam deh urusannya kalo udah begini.

Sepertinya setelah turunnya Pak Harto, kebebasan dalam hal berpendapat belum bisa dilaksanakan sepenuhnya di dalam ranah pendidikan, khususnya pendidikan sejarah. Ada usaha untuk menjaga agar pendidikan sejarah Indonesia selalu diusahakan untuk tidak “terlalu berani” dan tidak “terlalu mengemansipasi”. Yah, semoga para pihak2 yang mengusahakan hal-hal tersebut akan terbuka hatinya. Dalam hal pendidikan kewarganegaraan, sekali lagi terpaksa ilmu pengetahuan harus tunduk kepada penguasa. Materi baru sepertinya dipaksa untuk kembali pada nilai-nilai penataran P4, dimana penghambaan terhadap nilai-nilai Pancasila harus “dihafalkan”, bukan dihayati dan dimaknai sepenuhnya oleh siswa.

Kembali ke fenomena kegagalan UAN. Sepertinya ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah. Pertama, bahwa ukuran kesuksesan siswa SMA tidak bisa hanya ditentukan oleh ketiga mata pelajaran saja. Selalu ada nilai lebih yang harus ditonjolkan dari setiap siswa selama 3 tahun masa studinya di bangku SMA. Banyak kasus dimana siswa telah diterima di sebuah universitas melalui jalur PMDK terpaksa harus mundur karena tidak lulus UAN. Kedua, peraturan yang diterbitkan seringkali tidak mengacu pada kondisi sebenarnya yang berada di lapangan. Ada kecenderungan dimana guru dan siswa Indonesia juga cukup lamban dalam menyikapi adanya peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah setiap tahunnya. Akselerasi penyesuaian yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di pedesaan tentu tidak akan secepat yang dilakukan oleh sekolah di perkotaan, apalagi sekolah-sekolah unggulan.

Namun, kalau sudah begini, kita tentu bertanya apakah kemajuan pendidikan Indonesia hanya akan terhambat gara-gara permasalahan seperti ini? Permasalahan akselerasi penyerapan materi bahan ajar baru di sekolah-sekolah menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri yang harus diselesaikan. Mungkin salah satu caranya adalah para guru-guru kita ini kita kasi tugas aja untuk membaca tulisan-tulisannya John Dewey tentang konstruktivisme pendidikan, lalu bikin summary lengkap 10 halaman dengan font 12 dan spasi satu setengah. hehehe.

Balik ke masalah bunuh diri tadi. Apabila dilihat dari faktor pendidikan si anak, tentu kita bertanya mengapa sampai ada angka 4 orang siswa yang melakukan percobaan bunuh diri, dan 1 orang yang telah meninggal akibat upaya tersebut. Selama menjadi editor, saya selalu memperhatikan 3 faktor dalam membuat sebuah buku pelajaran, yaitu faktor kognitif, psikomotorik, dan afektif. Dalam fenomena bunuh diri ini, sepertinya faktor afektif yang telah dicantumkan dalam berbagai bentuk soal tidak diterapkan oleh siswa (atau guru?) di kelas dengan baik. Sebagai editor, saya kemudian merasa bahwa usaha yang selama ini saya terapkan untuk membuat buku yang dapat mendorong siswa untuk dapat menghargai kehidupannya dan kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya sepertinya belum tercapai secara maksimal.

Saya sempat berpikir dan sedikit bersedih, sebenarnya dimanakah letak kesalahannya? Bunuh diri merupakan sebuah hal yang tidak pernah saya pikirkan selama saya membuat buku pelajaran SMA. Sisi afektif dari setiap buku pun selalu saya dorong untuk menjadikan anak menjadi manusia yang tidak hanya peduli pada dirinya, namun juga peduli pada lingkungan sekitarnya. Atau mungkin permasalahannya terletak pada tidak terdistribusi secara meratanya buku-buku pelajaran di seluruh Indonesia ya? Di satu sisi, nampaknya idealisme untuk memajukan pendidikan Indonesia memang selalu terbentur dengan sisi kapitalisme dari dunia penerbitan buku-buku pelajaran, yang malangnya juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum guru yang turut andil dalam “cipratan” kapitalisme tersebut.

Untuk membuat sebuah buku yang murah dan dapat dijangkau oleh seluruh anak Indonesia, hingga ke pelosok-pelosok sekalipun, selalu terbentur dengan hitungan-hitungan BEP, investasi, dan profit. Dana pendidikan dari Bank Dunia pun hingga saat ini entah kemana larinya. Sementara di lain sisi, pemerintah juga belum menunjukkan niatan untuk sedikit ber-”down to earth” dalam melihat bagaimana kondisi pendidikan sebenarnya di Indonesia sebelum membuat sebuah kebijakan pendidikan baru. Selalu ada marjin kegagalan yang harus diperhatikan oleh pemerintah, bahwa dalam mengajar di kelas, guru selalu mengacu pada buku teks, dan perubahan kebijakan secara tiba-tiba akan berdampak pada perubahan total terhadap isi buku teks tersebut. Marjin kegagalan ini muncul sewaktu kebijakan baru itu muncul tidak jauh sebelum tahun ajaran baru, dan peluang untuk mengejar adanya perubahan-perubahan ini menjadi tidak maksimal karena waktunya sangat mepet. Inilah yang saya rasakan. Di satu sisi, editor ingin memanjakan guru dengan memberikan sebuah buku teks dengan materi yang sangat baik. Tapi kalau sudah begini urusannya, materi tersebut tentu akan tidak cukup optimal karena selalu bersinggungan dengan tenggat waktu yang tidak toleran.

Dulu, sekitar setahun yang lalu, di kantor saya ada semacam training untuk melatih para editor agar mahir dalam melakukan academic writing. Saya sempat bingung, karena training academic writing ini dilaksanakan dalam bahasa Inggris, padahal kerjaan saya sehari-hari selalu berkutat dengan bahasa Indonesia. Argumennya waktu itu adalah agar kita dapat menulis bahasa Indonesia yang concise. Cukup masuk akal. Di awal training, ada semacam test kecil. Kami diminta untuk membuat sebuah short essay tentang peran editor di dunia pendidikan Indonesia. Saya menuliskan bahwa salah satu peran para editor di itu adalah untuk memajukan dan mengemansipasi anak-anak Indonesia, tentu dengan argumen yang panjang karena terbiasa dengan penulisan tugas paper kuliah saya. Sepertinya enggak afdol kalau menulis sebuah kalimat tanpa disertai dengan deskripsi yang lengkap tentang basis argumen dan data. Malangnya, kalimat-kalimat di dalam tulisan saya itu kemudian jadi panjang-panjang dan jauh dari persyaratan sebuah kalimat yang concise. Saya kemudian dihadiahi sebutan “zonker of the day” oleh sang guru. hehehe. Maklum, baru kelas pertama kali, jadi masih gaptek. Hehehe.

Tapi fenomena kegagalan UAN hingga sampai ada yang bunuh diri sekarang ini kemudian membuat saya berpikir ulang, bahwa apakah tugas untuk mengemansipasi para anak-anak Indonesia itu juga disadari dan dihayati betul oleh para pembuat kebijakan kita? Setiap tahun selalu ada gonjang-ganjing pemberlakuan kurikulum baru. Dan sakitnya, draft kurikulum baru yang sudah keluar itu tidak mencantumkan adanya perubahan yang signifikan. Yang ada hanya perpindahan materi ini itu. Malah, kurikulum baru sekarang ini lebih “enggak jelas” lagi, karena menghilangkah indikator pencapaian target belajar siswa. Saya jadi berpikir, kayaknya dunia pendidikan kita jadi mirip dengan proyek belaka. Siapa yang menang tender, dialah yang menentukan arah pendidikan Indonesia di masa depan. Mungkin sebutan “zonker of the day” itu layak dialamatkan kepada mereka yang tidak berpikir panjang dalam menghasilkan sebuah kebijakan, karena telah dilupakan hatinya dari amanat untuk memajukan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan anak Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar