Jumat, 26 Juni 2009

Ujian Akhir Nasional (UAN) Sebagai Issue Kritis Pendidikan

1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan salah satu sektor penting dalam pembangunan di setiap negara. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2004 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang mulia ini disusunlah kurikulum yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan dan metode pembelajaran. Kurikulum digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Untuk melihat tingkat pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan suatu bentuk evaluasi.

Dengan demikian evaluasi pendidikan merupakan salah satu komponen utama yang tidak dapat dipisahkan dari rencana pendidikan. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua bentuk evaluasi dapat dipakai untuk mengukur pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Informasi tentang tingkat keberhasilan pendidikan akan dapat dilihat apabila alat evaluasi yang digunakan sesuai dan dapat mengukur setiap tujuan. Alat ukur yang tidak relevan dapat mengakibatkan hasil pengukuran tidak tepat bahkan salah sama sekali.

Ujian akhir nasional (UAN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan Pemerintah yang, menurut pendapat saya, merupakan bentuk lain dari Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir) yang sebelumnya dihapus. Benarkah UAN merupakan alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan? Makalah ini mencoba untuk mengupas apakah evaluasi dalam bentuk UAN dapat menjawab pertanyaan tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan. Pembahasan dimulai dari tujuan pendidikan, evaluasi, dan diakhiri dengan rekomendasi tentang perlu dan tidaknya evaluasi yang bersifat nasional.

2. Kurikulum dan Evaluasi

Sebelum berbicara tentang evaluasi, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang kurikulum sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum mencakup fokus program, media instruksi, organisasi materi, strategi pembelajaran, manajemen kelas, dan peranan pengajar (Arieh Lewy, 1977:7-8). Di Indonesia sekarang sedang dikembangkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional (Kurikulum 2004, 2003 ¡V belum disahkan tetapi telah dipublikasikan baik via website maupun cetak oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas).

Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam draft tersebut merupakan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh peserta didik yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi dapat diketahui melalui sejumlah hasil belajar dengan indikator tertentu. Kompetensi dapat dicapai melalui pengalaman belajar yang dikaitkan dengan bahan kajian dan bahan pelajaran secara kontekstual.

Cara mencapai kompetensi yang dibakukan disesuaikan dengan keadaan daerah dan atau sekolah. Berkaitan dengan hal ini dalam pelaksanaan kurikulum dikenal istilah diversifikasi kurikulum, maksudnya adalah bahwa kurikulum dikembangkan dengan menggunakan prinsip perbedaan kondisi dan potensi daerah, termasuk perbedaan individu peserta didik.

Evaluasi yang diterapkan seharusnya dapat menjawab pertanyaan tentang ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk mengingat kembali, tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan

"bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab" (Pasal 3).

Dalam tujuan pendidikan di atas terdapat beberapa kata kunci antara lain iman dan takwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan demokratis. Konsekuensinya adalah evaluasi yang diterapkan harus mampu melihat sejauh mana ketercapaian setiap hal yang disebutkan dalam tujuan tersebut. Evaluasi harus mampu mengukur tingkat pencapaian setiap komponen yang tertuang dalam tujuan pendidikan. Pertanyaannya adalah bagaimana pelaksanaan evaluasi pendidikan di Indonesia? Apakah evaluasi yang dipakai dapat menjawab semua pertanyaan tentang tingkat pencapaian tujuan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional? Pada bagian berikut akan dibahas penerapan sistem evaluasi di Indonesia dalam bentuk UAN.

3. UAN dan Permasalahannya

Pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai salah satu bentuk evaluasi pendidikan. Menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes pada siswa sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selain itu UAN bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah.

UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik, dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. UAN merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkn pada beberapa mata pelajaran yang dianggap ¡§penting¡¨, walaupun masih ada perdebatan tentang mengapa mata pelajaran itu yang penting dan apakah itu berarti yang lain tidak penting. Benarkah bahwa matematika, IPA, dan Bahasa Inggris merupakan tiga mata pelajaran yang paling penting?

Pertanyaan yang muncul adalah apakah sistem evaluasi dalam bentuk UAN dapat menjawab semua informasi yang diperlukan dalam pencapaian tujuan? Apakah UAN dapat memberikan informasi tentang keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Tuhan Yang Maha Esa? Apakah UAN dapat menjawab tingkat kreativitas dan kemandirian peserta didik? Apakah UAN dapat menjawab sikap demokratis anak? Dapatkah UAN memberikan semua informasi tentang tingkat ketercapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan tersebut?

Evaluasi seharusnya dapat memberikan gambaran tentang pencapaian tujuan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003. Evaluasi seharusnya mampu memberikan informasi tentang sejauh mana kesehatan peserta didik. Evaluasi harus mampu memberikan tiga informasi penting yaitu penempatan, mastery, dan diagnosis. Penempatan berkaitan dengan pada level belajar yang mana seorang anak dapat ditempatkan sehingga dapat menantang tetapi tidak frustasi? Mastery berkaitan dengan apakah anak sudah memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menuju ke tingkat berikutnya? Diagnosis berkaitan dengan pada bagian mana yang dirasa sulit oleh anak? (McNeil, 1977:134-135). UAN yang dilakukan hanya dengan tes akhir pada beberapa mata pelajaran tidak mungkin memberikan informasi menyeluruh tentang perkembangan peserta didik sebelum dan setelah mengikuti pendidikan.

Dalam Keputusan Mendiknas No. 153/U/2003 terdapat ketidaksinambungan antara tujuan, fungsi, dan bentuk ujian. Pertama, bahwa pelaksanaan UAN bertujuan untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes. Dari pernyataan tersebut muncul beberapa pertanyaan antara lain:

"« Dapatkah tes yang dilaksanakan di bagian akhir tahun pelajaran memberikan gambaran tentang perkembangan pendidikan peserta didik?

"« Dapatkah tes tersebut memperhatikan proses belajar mengajar dalam keseharian?

"« Dapatkah tes tertulis melihat aspek sikap, semangat dan motivasi belajar anak?

"« Dapatkah tes di ujung tahun ajaran menyajikan keterampilan siswa yang sesungguhnya?

"« Bagaimana kalau terjadi anak sakit pada saat mengikuti tes?

"« Apakah hasil tes dapat menggambarkan kemampuan dan keterampilan anak selama mengikuti pelajaran?

Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak mudah untuk memperoleh jawabannya bila dengan hanya memberikan tes pada akhir tahun pelajaran. Hasil belajar bukan hanya berupa pengetahuan yang lebih banyak bersifat hafalan, tetapi juga berupa keterampilan, sikap, motivasi, dan perilaku yang tidak semuanya dapat diukur dengan menggunakan tes karena melibatkan proses belajar. Dengan kata lain terjadi pertentangan antara tujuan yang ingin dicapai dengan bentuk ujian yang diterapkan, karena pengukuran hasil belajar tidak bisa diukur hanya dengan memberikan tes di akhir tahun pelajaran saja.

Kedua, tujuan ujian sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Mendiknas di atas adalah untuk mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Lagi pertanyaan yang serupa dengan pertanyaan-pertanyaan di atas muncul, seperti apakah mutu pendidikan dapat diukur dengan memberikan ujian akhir secara nasional di akhir tahun ajaran? Apalagi bila dihadapkan mutu pendidikan dari aspek sikap dan perilaku siswa, apakah bisa dilihat hanya pada saat sekejap di penghujung tahun? Mutu pendidikan pada tingkat nasional dapat dilihat dengan berbagai cara, tetapi pelaksanaan UAN sebagaimana yang dipraktekkan belum menjawab pertanyaan sejauh mana mutu pendidikan di Indonesia, apakah menurun atau meningkat dari tahun sebelumnya. Bahkan terdapat indikasi bahwa soal-soal UAN (yang dulu disebut Ebtanas) berbeda dari tahun ke tahun, dan seandainya hal ini benar maka akibatnya tidak bisa dibandingkannya hasil ujian antara tahun lalu dengan sekarang. Selain itu mutu pendidikan tidak mungkin diukur dengan hanya memberikan tes pada beberapa mata pelajaran ¡§penting¡¨ saja, apalagi dilaksanakan sekali di akhir tahun pelajaran. Mutu pendidikan terkait dengan semua mata pelajaran dan pembiasaan yang dipelajari dan ditanamkan di sekolah, bukan hanya pengetahuan koqnitif saja. UAN tidak akan dapat menjawab pertanyaan seberapa jauh perkembangan anak didik dalam mengenal seni, olah raga, dan menyanyi. UAN tidak akan mampu melihat mutu pendidikan dari sisi percaya diri dan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan bersikap demokratis. Dengan kata lain, UAN tidak akan mampu menyediakan informasi yang cukup mengenai mutu pendidikan. Artinya tujuan yang diinginkan masih terlalu jauh untuk dicapai hanya dengan penyelenggaraan UAN.

Ketiga, ujian bertujuan untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Adalah ironis kalau UAN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UAN. Dengan kata lain, UAN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.

Jika dihubungkan dengan kurikulum, maka UAN juga tidak sejalan dengan salah satu prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum yaitu ¡§diversifikasi kurikulum¡¨. Artinya bahwa pelaksanaan kurikulum disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah masing-masing. Kondisi sekolah di Jakarta dan kota-kota besar tidak bisa disamakan dengan kondisi sekolah-sekolah di daerah perkampungan, apalagi di daerah terpencil. Kondisi yang jauh berbeda mengakibatkan proses belajar mengajar juga berbeda. Sekolah di lingkungan kota relatif lebih baik karena sarana dan prasana lebih lengkap. Tetapi di daerah-daerah pelosok keberadaan sarana dan prasarana serba terbatas, bahkan kadang jumlah guru pun kurang dan yang ada pun tidak kualified akibat ketiadaan. Kebijakan penerapan UAN untuk semua sekolah di Indonesia telah melanggar prinsip tersebut dan mengakibatkan ketidak adilan karena ibarat mengetes atletik tingkat pelatnas yang setiap hari dilatih dengan segala sarana dan prasarana termasuk pelatih yang memadai dengan atletik kampung yang memiliki sarana seadanya. Tentu saja hasilnya jauh berbeda, tetapi kebijakan yang diambil adalah menyamakan mereka.

Pelaksanaan UAN hanya pada beberapa mata pelajaran yang dianggap ¡§penting¡¨ juga memiliki permasalahan tersendiri. Benarkah hanya matematika, bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran penting? Bagaimana kalau ada anak yang memiliki bakat untuk melukis, apakah itu berarti bahwa pelajaran seni jelas merupakan pelajaran penting bagi dia? Bagaimana juga dengan anak yang bercita-cita menjadi olahragawan yang berarti bahwa pelajaran olah raga merupakan pelajaran yang penting bagi dia? Kalau begitu kata ¡§penting¡¨ di sini untuk siapa? Pelaksanaan UAN pada beberapa mata pelajaran akan mendorong guru untuk cenderung mengajarkan mata pelajaran tersebut, karena yang lain tidak akan dilakukan ujian nasional. Hal ini dapat berakibat terkesampingnya mata pelajaran lain, padahal tidak semua anak senang pada mata pelajaran yang diujikan. Akibat dari kondisi ini adalah terjadi peremehan terhadap mata pelajaran yang tidak dilakukan pengujian.

Beberapa orang berpendapat bahwa UAN bertentangan dengan kebijakan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Hal ini dapat dipahami sebagai berikut. Kebijakan UAN dilaksanakan bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah. Selain itu pada saat yang sama juga dikenalkan kebijakan otonomi sekolah melalui manajemen berbasis sekolah. Evaluasi sudah seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab daerah termasuk sekolah, tetapi pelaksanaan UAN telah membuat otonomi sekolah menjadi terkurangi karena sekolah harus tetap mengikuti kebijakan UAN yang diatur dari pusat. Selain itu UAN berfungsi untuk menentukan kelulusan siswa. Padahal pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, kecuali sistem dan perencanaan pendidikan yang diatur secara nasional termasuk kurikulum. Di sisi lain, dengan adanya kebijakan otonomi sekolah yang berhak meluluskan siswa adalah sekolah melalui kebijakan manajemen berbasis sekolah. UAN telah dijadikan alat untuk ¡§menghakimi¡¨ siswa, tetapi dengan cara yang tanggung karena dengan memberikan batasan nilai minimal 4.00. Dengan menetapkan nilai serendah itu, maka berarti bahwa standar mutu pendidikan di Indonesia memang ditetapkan sangat rendah. Kalau direnungkan, apa arti nilai 4 pada suatu ujian. Nilai 4 dapat diartikan hanya 40% dari seluruh soal yang diujikan dikuasai, padahal secara umum pada bagian lain diakui bahwa nilai yang dapat diterima untuk dinyatakan cukup atau baik adalah di atas 6. Dengan kata lain, UAN selain menetapkan standar mutu pendidikan yang sangat rendah telah ¡§menghakimi¡¨ semua siswa tanpa melihat latar belakang, situasi, kondisi, sarana dan prasarana serta proses belajar mengajar yang dialami terutama siswa di daerah pedesaan.

4. Bagaimana Evaluasi Pendidikan Seharusnya Dilakukan

Evaluasi harus mampu menjawab semua informasi tentang tingkat pencapaian tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan yang diarahkan untuk melahirkan tenaga cerdas yang mampu bekerja dan tenaga kerja yang cerdas tidak dapat diukur hanya dengan tes belaka (Soedijarto, 1993a:17). Untuk itu evaluasi harus mampu menjawab kecerdasan peserta didik sekaligus kemampuannya dalam bekerja. Sistem evaluasi yang lebih banyak berbentuk tes obyektif akan membuat peserta didik mengejar kemampuan kognitif dan bahkan dapat dicapai dengan cara mengafal saja. Artinya anak yang lulus ujian dalam bentuk tes obyektif belum berarti bahwa anak tersebut cerdas apalagi terampil bekerja, karena cukup dengan menghafal walaupun tidak mengerti maka dia dapat mengerjakan tes. Sebagai konsekuensinya harus dikembangkan sistem evaluasi yang dapat menjawab semua kemampuan yang dipelajari dan diperoleh selama mengikuti pendidikan. Selain itu pendidikan harus mampu membedakan antara anak yang mengikuti pendidikan dengan anak yang tidak mengikuti pendidikan. Dengan kata lain evaluasi tidak bisa dilakukan hanya pada saat tertentu, tetapi harus dilakukan secara komperehensif atau menyeluruh dengan beragam bentuk dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan (Soedijarto, 1993b:27-29).

Bisakah UAN dipertahankan? Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa UAN banyak bertentangan bahkan dengan tujuannya sendiri, sehingga sulit dipertahankan. Seandainya Pemerintah tetap memilih untuk mempertahankan UAN maka selama itu perdebatan dan ¡§ketidakadilan¡¨ akan terjadi di dunia pendidikan karena memperlakukan tes yang sama kepada semua anak Indonesia yang kondisinya diakui berbeda-beda. Selain itu salah satu prinsip pendidikan adalah berpusat pada anak, artinya pendidikan harus mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak. Seorang anak yang berpotensi untuk menjadi seorang seniman tidak bisa dipaksakan untuk menguasai matematika kalau dia sendiri tidak menyukainya dan berpikir tidak relevan dengan seni yang digelutinya. Memperlakukan semua anak dengan memberikan UAN sama artinya menganggap semua anak berpotensi sama untuk menguasai mata pelajaran yang diujikan, padahal kenyataannya berbeda.

Bagaimana evaluasi pendidikan yang sebaiknya dilakukan? Menurut pendapat saya, evaluasi sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Sistem penerimaan siswa pada jenjang berikutnya dilakukan dengan cara diberikan tes masuk oleh sekolah masing-masing. Dengan cara demikian, maka setiap sekolah akan menetapkan standar sendiri melalui tes masuk yang dipakai. Sekolah yang berkualitas akan memiliki tes masuk yang relevan, dan sekolah yang kurang bermutu akan ditinggalkan masyarakat. Selain itu sekolah yang menghasilkan lulusan yang tidak bisa menerobos ke sekolah berikutnya juga akan ditinggalkan masyarakat. Dengan demikian akan terjadi persaingan sehat antar sekolah dalam menghasilkan lulusan yang terbaik dalam arti dapat melanjutkan ke sekolah berikutnya. Sistem penerimaan dengan mengacu pada UAN akan berakibat pada manipulasi data, bahkan membuka peluang terjadinya kecurangan. Pada umumnya sekolah berlomba-lomba untuk meluluskan siswa-siswanya dengan cara memberikan nilai kelulusan yang tinggi. Tetapi dengan adanya tes masuk pada sekolah berikutnya (kecuali masuk SLTP harus lanjut karena masih dalam cakupan wajib belajar), maka sekolah akan berlomba untuk membuat siswanya disamping lulus juga diterima di sekolah berikutnya.

Sistem evaluasi yang diserahkan sepenuhnya ke sekolah bukan berarti tidak diperlukan pedoman atau petunjuk teknis. Pedoman untuk melakukan evaluasi tetap diperlukan dalam memberikan guidance bagi guru agar dalam melakukan evaluasi tetap mengacu kepada kaedah-kaedah evaluasi yang berlaku secara umum. Jika UAN tetap dipertahankan maka tujuan dan pelaksanaannya harus dimodifikasi. Sebagai contoh bahwa UAN bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa tetapi dipakai sebagai pengendalian mutu pendidikan. Artinya UAN tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pendidikan pada umumnya. Dengan tujuan ini maka standar nilai UAN haruslah minimal 6 sebagaimana pada umumnya dan hanya berpengaruh pada kredibilitas sekolah.

Sistem pelaporan hasil belajar dalam bentuk raport perlu direformasi dengan bentuk lain yang lebih komperehensif. Sebagai contoh apa arti seorang anak memperoleh nilai 8 pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di raportnya? Apakah itu berarti anak tersebut menguasai pidato dengan baik, dapat menulis puisi, dan mampu berdebat? Informasi nilai yang ada diraport tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sehingga nilai raport perlu dimodifikasi sehingga dapat memberikan informasi yang selengkap-lengkapnya tentang kemampuan yang telah dimiliki anak. Sebagai contoh, bahwa untuk laporan hasil belajar bahasa Indonesia perlu mencakup kemampuan tentang membaca, berbicara, mengemukakan pendapat, kemampuan menulis, membuat karangan, berpidato, sikap menghargai orang lain, dan sebagainya. Hal yang sama dikembangkan untuk mata pelajaran yang lain. Model penilaian dengan menggunakan portfolio mungkin lebih baik daripada sistem raport yang digunakan saat ini.

KEGAGALAN UJIAN AKHIR SEKOLAH

Saya lalu merenungi perjalanan dinas saya ke Bogor tiga hari yang lalu. Dari pengalaman turun ke berbagai sekolah bersama kawan marketing, ternyata para guru juga mengeluhkan hal yang sama. Mereka mengeluhkan adanya kurikulum yang selalu berganti di Indonesia, yang akhirnya harus membuat mereka kewalahan untuk menyesuaikan dengan rencana pengajaran yang terus berubah setiap tahunnya. Di sisi yang sama, sebagai editor saya juga merasakan kewalahan ini. Untuk tahun ini saja, gonjang-ganjing pemberlakuan Kurikulum 2006 telah membuat hampir separuh pekerjaan saya gagal terbit. Saya harus pontang-panting untuk menyiapkan bahan-bahan yang tidak ada di kurikulum sebelumnya, dan harus menambahkannya ke dalam buku dengan tenggat waktu deadline yang sangat mencekik.

Malangnya lagi, buku-buku yang saya tangani merupakan buku yang rawan akan “kepentingan politik”, yaitu mata pelajaran Sejarah dan Kewarganegaraan. Ternyata memang betul kalimat yang menyatakan bahwa sejarah itu adalah milik penguasa. Materi tentang pemberontakan G-30-S di kurikulum baru sepertinya dipaksa untuk kembali ke versi Orde Baru, sebuah versi yang tentu layak untuk dipertanyakan. Kesulitan tidak hanya berhenti sampai di sini saja. Saya juga kebat-kebit sewaktu harus menulis tentang bab Reformasi, karena menyangkut tentang penembakan mahasiswa Trisakti yang disinyalir ditunggangi oleh militer (dengan para jenderal2nya itu), dan juga masih terkait dengan poros-poros militer yang sangat dekat dengan sumber kekuasaan. Salah-salah tulis, foto saya bisa-bisa muncul di DPO polisi militer guntur, lalu penerbit tempat saya bekerja disomasi habis-habisan, dan saya dipecat. Runyam deh urusannya kalo udah begini.

Sepertinya setelah turunnya Pak Harto, kebebasan dalam hal berpendapat belum bisa dilaksanakan sepenuhnya di dalam ranah pendidikan, khususnya pendidikan sejarah. Ada usaha untuk menjaga agar pendidikan sejarah Indonesia selalu diusahakan untuk tidak “terlalu berani” dan tidak “terlalu mengemansipasi”. Yah, semoga para pihak2 yang mengusahakan hal-hal tersebut akan terbuka hatinya. Dalam hal pendidikan kewarganegaraan, sekali lagi terpaksa ilmu pengetahuan harus tunduk kepada penguasa. Materi baru sepertinya dipaksa untuk kembali pada nilai-nilai penataran P4, dimana penghambaan terhadap nilai-nilai Pancasila harus “dihafalkan”, bukan dihayati dan dimaknai sepenuhnya oleh siswa.

Kembali ke fenomena kegagalan UAN. Sepertinya ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah. Pertama, bahwa ukuran kesuksesan siswa SMA tidak bisa hanya ditentukan oleh ketiga mata pelajaran saja. Selalu ada nilai lebih yang harus ditonjolkan dari setiap siswa selama 3 tahun masa studinya di bangku SMA. Banyak kasus dimana siswa telah diterima di sebuah universitas melalui jalur PMDK terpaksa harus mundur karena tidak lulus UAN. Kedua, peraturan yang diterbitkan seringkali tidak mengacu pada kondisi sebenarnya yang berada di lapangan. Ada kecenderungan dimana guru dan siswa Indonesia juga cukup lamban dalam menyikapi adanya peraturan pemerintah yang selalu berubah-ubah setiap tahunnya. Akselerasi penyesuaian yang dilakukan oleh sekolah-sekolah di pedesaan tentu tidak akan secepat yang dilakukan oleh sekolah di perkotaan, apalagi sekolah-sekolah unggulan.

Namun, kalau sudah begini, kita tentu bertanya apakah kemajuan pendidikan Indonesia hanya akan terhambat gara-gara permasalahan seperti ini? Permasalahan akselerasi penyerapan materi bahan ajar baru di sekolah-sekolah menjadi sebuah pekerjaan rumah tersendiri yang harus diselesaikan. Mungkin salah satu caranya adalah para guru-guru kita ini kita kasi tugas aja untuk membaca tulisan-tulisannya John Dewey tentang konstruktivisme pendidikan, lalu bikin summary lengkap 10 halaman dengan font 12 dan spasi satu setengah. hehehe.

Balik ke masalah bunuh diri tadi. Apabila dilihat dari faktor pendidikan si anak, tentu kita bertanya mengapa sampai ada angka 4 orang siswa yang melakukan percobaan bunuh diri, dan 1 orang yang telah meninggal akibat upaya tersebut. Selama menjadi editor, saya selalu memperhatikan 3 faktor dalam membuat sebuah buku pelajaran, yaitu faktor kognitif, psikomotorik, dan afektif. Dalam fenomena bunuh diri ini, sepertinya faktor afektif yang telah dicantumkan dalam berbagai bentuk soal tidak diterapkan oleh siswa (atau guru?) di kelas dengan baik. Sebagai editor, saya kemudian merasa bahwa usaha yang selama ini saya terapkan untuk membuat buku yang dapat mendorong siswa untuk dapat menghargai kehidupannya dan kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya sepertinya belum tercapai secara maksimal.

Saya sempat berpikir dan sedikit bersedih, sebenarnya dimanakah letak kesalahannya? Bunuh diri merupakan sebuah hal yang tidak pernah saya pikirkan selama saya membuat buku pelajaran SMA. Sisi afektif dari setiap buku pun selalu saya dorong untuk menjadikan anak menjadi manusia yang tidak hanya peduli pada dirinya, namun juga peduli pada lingkungan sekitarnya. Atau mungkin permasalahannya terletak pada tidak terdistribusi secara meratanya buku-buku pelajaran di seluruh Indonesia ya? Di satu sisi, nampaknya idealisme untuk memajukan pendidikan Indonesia memang selalu terbentur dengan sisi kapitalisme dari dunia penerbitan buku-buku pelajaran, yang malangnya juga dimanfaatkan oleh oknum-oknum guru yang turut andil dalam “cipratan” kapitalisme tersebut.

Untuk membuat sebuah buku yang murah dan dapat dijangkau oleh seluruh anak Indonesia, hingga ke pelosok-pelosok sekalipun, selalu terbentur dengan hitungan-hitungan BEP, investasi, dan profit. Dana pendidikan dari Bank Dunia pun hingga saat ini entah kemana larinya. Sementara di lain sisi, pemerintah juga belum menunjukkan niatan untuk sedikit ber-”down to earth” dalam melihat bagaimana kondisi pendidikan sebenarnya di Indonesia sebelum membuat sebuah kebijakan pendidikan baru. Selalu ada marjin kegagalan yang harus diperhatikan oleh pemerintah, bahwa dalam mengajar di kelas, guru selalu mengacu pada buku teks, dan perubahan kebijakan secara tiba-tiba akan berdampak pada perubahan total terhadap isi buku teks tersebut. Marjin kegagalan ini muncul sewaktu kebijakan baru itu muncul tidak jauh sebelum tahun ajaran baru, dan peluang untuk mengejar adanya perubahan-perubahan ini menjadi tidak maksimal karena waktunya sangat mepet. Inilah yang saya rasakan. Di satu sisi, editor ingin memanjakan guru dengan memberikan sebuah buku teks dengan materi yang sangat baik. Tapi kalau sudah begini urusannya, materi tersebut tentu akan tidak cukup optimal karena selalu bersinggungan dengan tenggat waktu yang tidak toleran.

Dulu, sekitar setahun yang lalu, di kantor saya ada semacam training untuk melatih para editor agar mahir dalam melakukan academic writing. Saya sempat bingung, karena training academic writing ini dilaksanakan dalam bahasa Inggris, padahal kerjaan saya sehari-hari selalu berkutat dengan bahasa Indonesia. Argumennya waktu itu adalah agar kita dapat menulis bahasa Indonesia yang concise. Cukup masuk akal. Di awal training, ada semacam test kecil. Kami diminta untuk membuat sebuah short essay tentang peran editor di dunia pendidikan Indonesia. Saya menuliskan bahwa salah satu peran para editor di itu adalah untuk memajukan dan mengemansipasi anak-anak Indonesia, tentu dengan argumen yang panjang karena terbiasa dengan penulisan tugas paper kuliah saya. Sepertinya enggak afdol kalau menulis sebuah kalimat tanpa disertai dengan deskripsi yang lengkap tentang basis argumen dan data. Malangnya, kalimat-kalimat di dalam tulisan saya itu kemudian jadi panjang-panjang dan jauh dari persyaratan sebuah kalimat yang concise. Saya kemudian dihadiahi sebutan “zonker of the day” oleh sang guru. hehehe. Maklum, baru kelas pertama kali, jadi masih gaptek. Hehehe.

Tapi fenomena kegagalan UAN hingga sampai ada yang bunuh diri sekarang ini kemudian membuat saya berpikir ulang, bahwa apakah tugas untuk mengemansipasi para anak-anak Indonesia itu juga disadari dan dihayati betul oleh para pembuat kebijakan kita? Setiap tahun selalu ada gonjang-ganjing pemberlakuan kurikulum baru. Dan sakitnya, draft kurikulum baru yang sudah keluar itu tidak mencantumkan adanya perubahan yang signifikan. Yang ada hanya perpindahan materi ini itu. Malah, kurikulum baru sekarang ini lebih “enggak jelas” lagi, karena menghilangkah indikator pencapaian target belajar siswa. Saya jadi berpikir, kayaknya dunia pendidikan kita jadi mirip dengan proyek belaka. Siapa yang menang tender, dialah yang menentukan arah pendidikan Indonesia di masa depan. Mungkin sebutan “zonker of the day” itu layak dialamatkan kepada mereka yang tidak berpikir panjang dalam menghasilkan sebuah kebijakan, karena telah dilupakan hatinya dari amanat untuk memajukan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan anak Indonesia.